TULISAN ini terinspirasi dari tulisan Aris Ananta, seorang pengamat ekonomi yang menulis Selamat Tinggal Pertumbuhan di salah satu surat kabar nasional.
Aris
Ananta mengatakan, sesungguhnya orang telah lama menginginkan lebih
dari GDP (pertumbuhan pendapatan bruto kotor) untuk mengukur pembangunan
dengan banyak indikator dan tidak terpaku dengan GDP saja. Aris Ananta
menegaskan, "Hidup bukan hanya soal Uang, tetapi juga kesehatan,
keamanan, lingkungan, tata kelola pemerintahan yang baik, dan banyak hal
lagi."
Dalam tulisannya itu, Aris menyinggung pertumbuhan
nasional dapat tinggi. Namun, apa gunanya jika lingkungan rusak, orang
tidak sehat, dan hidup tidak nyaman. Oleh sebab itu mengapa OCED, sebuah
organisasi kerja sama ekonomi dan pembangunan kini menggunakan 11
indikator untuk mengukur kemajuan perekonomian yang mencakup pendapatan,
perumahan, pekerjaan, masyarakat, pendidikan, lingkungan, pemerintahan,
kesehatan, kepuasan hidup, keamanan, serta keseimbangan pekerjaan dan
hidup.
Pemerintahan SBY
Belum
hilang lagi dari ingatan, kasus Ruyati yang jadi TKI di Saudi karena di
negeri sendiri tak ada “lapak” lagi untuk mencukupi. Ujung-ujungnya TKI
juga moratorium, sama dengan moratorium tebang hutan. Belakangan, ketua
DPR Marzuki Ali mengusulkan moratorium penerimaan PNS. Negara
moratorium?
Sesungguhnya mengukur pertumbuhan hanya dari
perekonomian berarti melupakan beberapa ukuran yang sudah ditetapkan
OCED. Maka bagaimana nasib pendidikan kita? Melanjutkan tradisi UN, yang
“menekan” jiwa itu? Sampai takutnya sekolah dianggap gagal karena
ukuran sekolah sukses adalah banyaknya siswa yang lulus. Keberhasilan
sekolah tidak diukur dari seberapa kreatif siswanya, seberapa jujur,
baik, santun, dan peduli dengan sekitarnya.
Lantas
seperti kita ketahui belakangan ada Sekolah “membiarkan” contek massal.
Berhasilkah pendidikan Kita? Ya, berhasil. Angka kelulusan memang
meningkat, tapi...
Pemerintahan Mahasiswa (baca: BEM)
Banyak
yang mengatakan nasib Indonesia masa depan ada di tangan pemuda. Salah
satu elemen dalam pemuda (mahasiswa) adalah Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM). Baru-baru ini, salah satu surat kabar nasional memberitakan bahwa
BEM tak lagi diminati. Alasannya banyak. Mulai dari alasan manajemen
waktu yang sulit, tugas menumpuk, terlambat lulus, dan lain sebagainya.
Kenapa
BEM tak lagi diminati? Penulis melihat ada dua alasan, pertama ada
ukuran yang keliru di dalam pendidikan tinggi kita. Salah satu ukuran
yang lazim dibincangkan di kalangan mahasiswa adalah mengatakan
mahasiswa terlambat lulus sebagai mahasiswa tidak atau belum
berprestasi. Sekali lagi ukurannya selalu angka.
Kedua,
BEM hanya fokus pada proker (program kerja) dan selalu begitu.
Keberhasilan BEM diukur dari seberapa banyaknya program kerja yang telah
dilaksanakannya. Bukan dari apakah program kerja itu berdampak besar
bagi mahasiswa di kampusnya, masyarakatnya, dan lain-lain. Lalu apa
bedanya dengan event organizer (EO) yang kerjaannya mengurusi “event”
dan “proyek” itu?
Program kerja yang banyak dan belum
berdampak itu membuat internalnya juga terganggu. Ujung-ujungnya
membosankan karena tuntutannya adalah terlaksananya Program kerja agar
dianggap sukses menjadi pemerintahan kampus. Berfokus pada program kerja
membuat BEM jadi kaku. Anggaplah saat ini ada isu nasional yang hangat,
kalau tidak ada dalam proker maka tidak akan ada diskusi-aksi di
kampus.
Karya-karya ilmiah juga begitu, kesuksesannya
hanya diukur dari apakah sudah melaksanakan pelatihannya? Bukan dari
seberapa banyak orang yang terpacu “berkarya” setelah pelatihan itu.
Titiknya adalah mana tindak lanjutnya? Alasannya selalu “kembali ke
pribadi masing-masing”.
Antara SBY dan BEM
Kalau
yang menjadi ukuran keberhasilan hanya GDP dan terlaksananya Program
kerja, penulis khawatir kita akan terjebak di lembah “Retorika”. Benar,
kelihatan hebat di podium membacakan keberhasilan-keberhasilan itu,
penuh tepuk tangan meriah pengunjung (yang mayoritas anggota/kelompoknya
sendiri).
Tapi apa kenyatannya juga begitu? Apa
masyarakat merasakan sebenar-benarnya merasakan “kerja” pemerintahan
itu? Atau ujung-ujungnya masyarakat harus mencari jalan keluar untuk
hidupnya sendiri? Seperti Ruyati yang menjadi TKI dan “dibunuh” di
Saudi?
Mari kita terus memperbaiki diri, berdoa untuk
Indonesia dan pemuda yang lebih baik. Pemuda yang tidak menjual
“ayat-ayat”-Nya dengan harga murah dan mengatakan apa yang tidak
dilakukannya. Semoga!!
(FA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar