Sabtu, 29 Desember 2012

Semoga Gie Tak Jadi Guevara



Republik ini jarang membuat film berlatar belakang politik. Hanya Pemberontakan G-30 S/PKI karya Arifin C. Noer – meski jadi alat propaganda Orde Baru – yang masuk hitungan. Kemunculan film Gie, karya kolaborasi sineas muda Riri Riza dan Mira Lesmana memberi kesegaran dan perspektif lain yang berbeda. Tetapi semenjak awal, Riri atau Mira tak menyebutnya sebagai film politik.

Pembuatan film Gie, boleh dibilang sebuah proyek idealis berbudget tinggi untuk ukuran Indonesia – Rp 7 miliar – duo sineas andal ini. Hasrat itu muncul usai mereka membaca buku Catatan Seorang Demostran milik Soe Hok Gie yang diterbitkan oleh LP3ES. Siapapun, dalam fase-fase pencarian terutama, akan terpengaruh dengan buku catatan harian mahasiswa Fakultas Sastra UI jurusan Sejarah yang kemudian jadi acuan mahasiswa aktivis ideal.

Seorang idealis tanpa kompromi, apalagi begitu setia pada prinsip-prinsip kemanusian, selalu jadi persona yang menarik. Simak saja alasan Riri mengapa ia membuat film itu. “Soe Hok Gie adalah sosok yang spesial, karena ia tidak tercatat sebagai pahlawan yang besar dalam buku sejarah yang kita baca. Tapi dia punya makna yang sangat luas di kalangan muda.” Apalagi  Riri menyebut buku Catatan Seorang Demonstran itu sebagai sumber yang kaya untuk sebuah skenario film.

Sang kakak, Arif Budiman pun sangat percaya akan kapabilitas kedua sineas ini ketika dimintai izin untuk membuat film adiknya. “Mereka ini adalah orang-orang yang serius membuat film. Jadi saya percaya dan tidak perlu campur tangan dalam pembuatan film itu,” kata Arif dalam sebuah wawancara di sebuah televisi swasta.

Sebagai person, Gie memang kompleks dan penuh kontradiksi. Selain idealis tanpa kompromi, Gie yang kerempeng itu cerdas dengan bacaan luas, serta romantis. Maklum, anak sastra. Dendam pribadinya pada kekuasaan yang dimulainya sejak umur 14 tahun akibat perlakukan tak adil guru bahasa Indonesia-nya di SMP Strada, membuat sosok Gie makin kokoh sebagai simbol pemberontakan. “Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu..Dendam yang disimpan, lalu turun ke hati, mengeras sebagai batu. Guru bukan dewa yang selalu benar dan murid bukan kerbau yang tidak tahu apa-apa,” tulis Gie di halaman awal buku hariannya.

Ketika mahasiwa, ia pun memaklumatkan perang terhadap para pemimpin tua yang ditudingnya jadi penyebab semua kebobrokan negeri. “Mereka generasi tua: Soekarno, Ali, Iskak, Lie Kiat Teng, Ong Eng Die, semuanya pemimpin-pemimpin yang harus ditembak di Lapangan Banteng,” betapa gahar dan arogannya.

Petilasan Hok-Gie dan Idhan Lubis di Mahameru
Namun Gie juga penuh kesepian. Begitu kesepiannya, hingga hanya gunung yang mau menerimanya. Sampai-sampai, mayatnya pun ditolak Jakarta. Abu jenazah Gie ditaburkan di Gunung Pangrango. Kuburannya di Kober, Tanah Abang pada tahun 1975 digusur Pemprop DKI Jakarta karena akan didirikan bangunan lain.

Tetapi sebenarnya, dalam pergaulan, bukan ide, Gie tidak terlalu terasingkan. Ia pendiri Mapala UI yang terkenal, aktif di Senat Mahasiwa dan Radio Kampus. Gie juga sering melakukan pemutaran film lalu mendiskusikannya. Ia layaknya mahasiswa pada umunya yang tak haram untuk sedikit bersenang-senang. Cukup banyak perempuan-perempuan, karena sifat-sifatnya secara terang-terangan atau pun sembunyi-sembunyi mengagumi dan menyukainya. Tetapi sayangnya, ketika Gie menemui orang tua mereka untuk meminta anaknya, selalu ditolak. “Terlalu besar resikonya untuk terlibat dengan Gie,” itu alasan yang sering digunakan oleh para orang tua perempuan.

Mungkin karena buku Catatan Seorang Demonstran adalah sumber skenario yang kaya, dalam film Gie, Riri berusaha untuk memotretnya secara detil, runtut per kronologis. Tak pelak, durasi pun jadi panjang untuk ukuran film Indonesia, 147 menit. Sayang, itu membuat film ini terlihat seperti kehilangan fokus. Tidak tergambar secara jelas, persaingan atau intrik politik Ormek-Ormek di UI yang kebanyakan onderbouw partai politik yang sedang memperebutkan kekuasaan saat itu. Juga rekonstruksi kolosalnya demonstrasi tahun 1966 yang agak kedodoran. Bisa jadi, ini karena sejak awal, Riri tidak menyebut sebagai film Gie sebagai film politik.

Sayang, kalau bukan film politik, konflik internal Gie, antara keinginannya untuk terus berjuang dan kesendiriannya yang penuh dengan kesepian seorang intelektual juga tidak muncul penuh greget.  Yang digarap manis justru roman-roman dan konflik Gie dengan para perempuan-perempuannya. Untunglah, itu masih tertolong dengan penataan musik oleh Thoersi Argeswara yang mampu membangun suasana dan semangat zaman saat itu.

Riri, juga Mira, mungkin telah memperkirakan film Gie bakal jadi tontonan yang “berat” bagi remaja kebanyakan atau bagi mahasiswa. Maka dipasanglah Nicholas Saputra untuk memerankan Gie, meski Riri menyatakan itu dilakukan setelah meng-casting banyak pemuda China namun ia tidak menemukan satu pun yang pas untuk memerankannya. Promosi film ini pun berbeda dari film sebelumnya Ada Apa Dengan Cinta (AADC). Fokus mereka adalah kampus-kampus sambil mendiskusikan buku Catatan harian Demonstran yang dicetak ulang dengan Nico sebagai covernya. 

Dan perkiraan itu tampaknya benar. Ketika melihat pemutaran perdana di sebuah bioskop di Surabaya, ruangan hanya terisi separo. Film itu, bagi beberapa penonton remaja, tidak mampu untuk mengusir sejuknya AC dan empuknya kursi yang membuat mereka lelap. Yang tidak tertidur pun terlihat gelisah. Hanya adegan percintaan yang membuat mereka senyum-senyum. “Saya ingin nonton Nico. Cerita film itu, saya tidak begitu paham. Kapitalisme, sosialisme, saya tidak tahu,” kata seorang remaja putri usai menonton bersama kawannya.

Dalam penilaian Riri, film Gie adalah film terbaik yang pernah dibuatnya. Sayang, kali ini, idealisme lebih unggul dari komersialitas yang diyakini bisa bercampur dalam sebuah film oleh Riri. Memang, bagi penonton – terutama remaja dan mahasiswa – yang belum membaca Catatan Seorang Demonstran, atau mengenal sekilas peristiwa 1965, akan merasa berat untuk bisa menikmati film Gie. Terlebih, zaman telah berubah. Remaja sekarang bukanlah remaja yang dibesarkan dengan tema-tema berat seperti kapitalisme dengan segala turunannya, sosialisme dengan percabangannya atau komunis dengan modifikasinya. Mereka suka percintaan, atau horor. Sesuatu yang sedap dipandang, gampang dicerna. Segala yang pop.

Semoga saja, Riri dan juga Mira cukup mempromosikan film ini dengan meletakkan foto Nico pada bukunya Gie untuk kemudian dicetak ulang. Tidak sampai membuat kaos, pin, topi, jaket, emblem, atau malah membuat sinetron soal Gie. Kalau tidak, Gie akan jadi Che Guevara yang pose wajahnya ada dalam segala yang bisa dijual oleh kapitalisme. Hanya sebagai hiasan karena membuat sesuatu yang ditempelinya terlihat keren atau seksi. Kapitalisme, yang dilawan penjuang Kuba asal Argentina, begitu juga Gie, sepanjang hidupnya, kini malah dengan nyaman menggunakan dan mendapat keuntungan atasnya.

Tidak !! Gerakan Mahasiswa harus tetap berdiri sebagai konsekuensi logis dari proses pendidikan.


Gerakan Mahasiswa merupakan kata yang tidak asing lagi bagi kita. Tetapi apa dan bagaimana Gerakan Mahasiswa itu? Gerakan Mahasiswa adalah sejumlah aktivitas dan tindakan yang dilakukan secara sistematis (sadar dan terencana) guna mencapai suatu tujuan atau visi yang bersifat mengubah bentuk atau rupa dari suatu objek tertentu (transformasi) dan dilakukan oleh mahasiswa. Gerakan Mahasiswa sebagai salah satu gerakan sosial juga mempunyai prinsip yang khas dalam batasan permainannya yaitu Kebenaran Ilmiah. Lalu kenapa harus ada Gerakan Mahasiswa?

Gerakan Mahasiswa muncul dari konsekuensi nilai dan tujuan pendidikan itu sendiri. Menurut John Dewey, pendidikan merupakan alat untuk mencapai sebuah perubahan dan kemajuan dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan menurut Paulo freire, pendidikan harus mampu menjawab tantangan yang ada di masyarakatnya. Dari pemikiran kedua filsuf pendidikan ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan memiliki tujuan untuk melakukan transformasi sosial di masyarakat dan konsekuensinya adalah bahwa pendidikan harus berbasiskan realita masyarakatnya. Dan realita masyarakatnya sangatlah erat dengan kebudayaan masyarakat. Berarti pendidikan juga tidak boleh teralienasi dari kebudayaan masyarakat dan pada akhirnya harus memberikan sumbangsih dalam proses pembudayaan masyarakatnya. Pada tataran praktisnya gerakan mahasiswa mempunyai peranan struktural dan kultural untuk masyarakatnya. Struktural karena gerakan mahasiswa merupakan gerakan yang sistematis dan mempunyai tujuan. Kultural karena gerakan mahasiswa lahir dari konsekuensi tujuan pendidikan itu sendiri yaitu proses pembudayaan masyarakat.

Mahasiswa merupakan pemuda calon cendikiawan bangsa yang tengah digojlok dengan berbagai aktivitas akademik agar ia siap terjun dimasyarakatnya melakukan sebuah transformasi dengan menerapkan segala hal yang telah ia dapat dari masa pendidikan di universitas. Lalu mahasiswa seperti apakah yang dibutuhkan untuk menghasilkan generasi penerus bangsa yang berkualitas? Menurut Anwar Ibrahim, seorang tokoh reformis Malaysia dalama bukunya “Renaissance of Asia” mengatakan bahwa mahasiswa yang dibutuhkan adalah mahasiswa yang multidimensional. Yang disamping penguasaan terhadap kajian bidang ilmunya ia juga memiliki penguasaan dan kemampuan berdialektika sehingga dalam masa-masanya di universitas ia melakukan berbagai pengembangan dan pengayaan diri. Proses pengayaan yang tidak tersentuh oleh bangku kuliah adalah merupakan tugas Gerakan Mahasiswa.

Akankah mahasiswa mau melakukan interaksi sosial dengan realita masyarakatnya jika proses aktualisasinya sendiri mengalami hambatan?. Akankah suara, ajakan dan pendekatan yang dilakukan oleh lembaga sentral mahasiswa didengarkan jika lembaga ini sudah mereka pandang menjenuhkan, jika mendengar namanya saja sudah “ANTI”? Kita memerlukan cara baru yang cerdas, segar atau bahkan nakal untuk kembali merepresentasikan kemahasiswaan terpusat ini ditengah keberagaman kita.

Sangat disayangkan, banyak mahasiswa yang sudah jemu dan menyatakan tidak peduli terhadap ada atau tidaknya Organisasi Intra Kampus (Ormawa/UKM), khususnya di kampus saya. Beberapa Ormawa dipandang memiliki satu warna dan bergerak hanya di tataran lingkungan kampus saja dan tidak berani untuk bergerak di tataran masyarakat sosial ataupun hingga ke tataran politis. Lalu bagaimana Ormawa akan menjalankan perannya sebagai lembaga sentral mahasiswa jika mahasiswanya sendiri sudah tidak peduli, sudah jenuh?. Haruskah kita juga ikut tidak peduli padahal kita tahu fungsi dan tujuan dari gerakan mahasiswa itu sendiri terhadap masyarakat dan aktualisasi mahasiswa sebagai calon penerus bangsa?. (RMA)

Revolusi pandangan saya adalah mengembalikan dan menjalankan 100% sepenuhnya UUD 1945 dan Pancasila


Kenapa saya menginginkan hal itu ?

Karena semua hal yang mengatur bangsa dan negara ini sudah di atur dalam UUD 1945 dan PANCASILA yang dimana selama ini UUD 1945 dan PANCASILA tidak pernah di jalankan malah di ubah sedemikian rupa untuk kepentingan golongan tertentu sehingga bangsa ini menderita 4 kesalahan yang terjadi secara masif dan tandem yang bersifat sangat luar biasa , yaitu kesalahan :
1. Filosofis
2. Idiologi
3. Taktis
4. Strategis

Saya ambil contoh kecil kesalahan taktis yang dimana itu terjadi pada saat pemilu yang dimana dalam pemilu dimaksudkan memilih wakil rakyat tapi apa yang menjadi pertanyaan rakyat yang mana yang di wakili ? pada kenyataan nya cuman rakyat kepartaian saja dan beberapa golongan, sedangkan rakyat ? malah di beratkan dengan ada nya UU yang semena2 di buat para elit itu tanpa sepertujuan rakyat dalam hal ini KEDAULATAN RAKYAT TIDAK ADA SAMA SEKALI !!

Bagaimana sistem yang sebenarnya itu ? sistem yang sebenarnya sudah di atur dalam UUD 1945 yaitu:

Pasal 1 ayat 2 : Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pasal 2 dan Pasal 3.
ini adalah sistem musyawarah bukan demokrasi ala barat yang kita terapkan , akan sedikit saya jabarkan tentang perbedaan musyawarah dan demokrasi :

Dalam hal Kebenaran Absolut (Al Quran):
Musyawarah : Membangun tali silaturahim, kepemimpinan, dan memperkuat jiwa tolong menolong (Ali Imran :159 dan Asy Syuuraa)
Demokrasi : Membangun kekuasaan dari suatu kekuatan yang dapat diatur dan diundi (Al Hajj: 73, 74 dan As Shaaffaat 140, 141, 143)
Dalam hal kebenaran secara universal :
Musyawarah : Metoda Pengambilan Keputusan berdasarkan Hidayah
Demokrasi : Metoda Pengambilan Keputusan berdasarkan Nafsu (undian)

Dalam hal filosofi :
Musyawarah : Adanya Keterlibatan Allah di dalam membuat suatu keputusan
Demokrasi : Usaha manusialah yang menentukan suatu keputusan dibuat

Dalam hal teori :
Musyawarah : Pengembangan infrastruktur yang mendekatkan kebenaran relatif terhadap kebenaran yang bersifat pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga
Demokrasi : Pengembangan infrastruktur untuk membangun kebenaran temporer atau relatif tanpa memperhatikan adanya kebenaran absolut yang berlaku

Dalam hal metode :
Musyarawah : Melalui Majelis Lembaga Bangsa (MPR)
Demokrasi : Pembentukan Organisasi Kepanitiaan

Dalam hal taktik :
Musyawarah : Pengumpulan perbedaan pemikiran/pendapat
Demokrasi : Perhitungan Jumlah suara pendukung
Dalam hal program :

Musyawarah : Pengembangan pola kepemimpinan dan pencerdasan kehidupan bangsa
Demokrasi : Pengembangan afiliasi kekuatan bangsa untuk kekuasaan kelompok-kelompok elit

Dalam hal kurikulum :

Musyawarah : Pengembangan kedaulatan rakyat melalui institusi kebangsaan yang menentukan institusi kenegaraan
Demokrasi : Pengembangan kekuasaan dan kekuatan melalui institusi negara dengan melemahkan institusi kebangsaan

Dalam hal pembiayaan :
Musyawarah : Kolektif Rakyat dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Rakyat sebagai dasar ditetapkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Demokrasi : Kelompok Elit/Individu yang menetapkan besarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tanpa penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Rakyat terlebih dahulu

Proses musyawarah adalah lebih cenderung pada penggunaan hak bicara bukan hak suara. Sehingga, musyawarah akan lebih mengandalkan kepada kemampuan keilmuan seseorang atas persoalan yang akan dipecahkan, dan prosesnya akan mencerdaskan hadirin yang hadir terlibat.

Adapun proses demokrasi adalah lebih cenderung menggunakan hak suara daripada hak bicara. Sehingga, proses ini akan lebih ditentukan oleh kekuatan ikatan primordial seseorang terhadap seseorang baik secara individu maupun secara kelompok atau organisasi. Sehingga, transfer ilmu pengetahuan sebagai suatu proses pencerdasan bangsa akan sangat lemah terjadi.

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa proses musyawarah akan membentuk seseorang lebih menjadi pemimpin, sedangkan proses demokrasi lebih cenderung membentuk seseorang menjadi penguasa.

Anda bisa membedakan disini , sistem mana yang baik untuk bangsa ini ?? Apakah sistem demokrasi ala barat yang membawa kedaulatan elit atau sistem musyawarah yang bersifat membawa kedaulatan rakyat secara utuh ?? Hal ini lah menjadikan carut marutnya bangsa ini dengan maraknya korupsi,kolusi,nepotisme dan lain-lain yang berdampak buruk. karena kedaulatan rakyat tidak ada.

Pertanyaan selanjutnya bagaimana proses kedaulatan rakyat itu ?
Kembali ke :
Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 "Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat".

Pasal 2 ayat 2 " Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara".
Pasal 2 ayat 3 "Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak"

Jadi tiap-tiap indvidu rakyat setiap menjelang sidang MPR diwajibkan untuk merumuskan kedaulatan nya. Contoh : Bung merumuskan kedaulatan nya untuk bangsa dan negara dalam secarik kertas, setelah itu Bung Sarmedy dan keluarga melakukan musyawarah untuk merumuskan keputusan kedaulatan keluarga , setelah itu pemimpin keluarga bung sarmedi melakukan musyawarah ke RT setempat , dan RT setempat merumuskan kedaulatan RT nya , dan proses itu berlanjut sampai ke tingkat kecamatan , dan pada akhirnya kecamatan inilah adalah MPR itu sendiri sang pembawa kedaulatan rakyat yang bersidang sedikitnya 5 tahun sekali dalam ibu kota negara , dan hasil dari keputusan sidang MPR adalah menetapkan UUD dan GBHN (pasal 4 ) , juga memilih seorang figur pemimpin (eksekutif) , Legislatif juga Yudikatif.

Sehingga pada akhirnya UDD 1945 yang sebenarnya pasal 1 sampai pasal 37 dan PANCASILA ini dijalankan sepenuhnya , inilah yang dinamakan REVOLUSI , inilah dasar pemikiran saya tentang REVOLUSI .

AKSI dari Revolusi itu :
1.Pencerdasan Terhadap Rakyat dalam hal ilmu agama , ilmu kebangsaan dan kenegaraan, penerapan ekonomi secara terdidik, juga taktik dan strategi Revolusi dengan cara Konsolidasi keseluruh Indonesia. ( sehingga rakyat cerdas dan perut kenyang ) dan REVOLUSI PUN BERJALAN !!
2. *masih rahasia dapur , hehehehe maap belum bisa di umbar tapi nanti insya allah di tunggu ajah bentuk nyatanya.
Strategi dan Taktik Revolusi :
hehehehe maap untuk sementara ilmu dan tentang ini belum bisa di sebarluaskan, hehehe :p

Ada apa dengan 4 Pilar Kebangsaan? (Sosialisasi sesat 4 Pilar)


Iya, 4 pilar dasarnya dari mana??
Fatwa sesat yang tidak punya dasar dan tidak ada sama sekali struktural sistematis yang terbangun.UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, itukah 4 pilar?? Seperti mendengungkan nasionalisme yang dikemas sedemikian rupa, yang menumbuhkan rasa kesadaran nasional. Tapi tidak pernah dijelaskan asal 4 pilar darimana.

Menjadi naif apabila kita menerima sesuatu tanpa pernah mau tahu asal usulnya dari mana. Apakah dari rumusan rangkaian sejarah??? Kalau memang benar katanya dari rumusan sejarah, bodoh sekali, karena sejarah bangsa kita sudah menjelaskan secara struktural filosofi NKRI. Karena seharusnya 4 pilar itu diambil dari preambule UUD 45 dimana pilar-pilar itu yang menjadikan Indonesian Nation-state. Sedangkan disisi lain, yang sekarang 4 pilar di dengungkan itu tidak sesuai dengan sistematis preambule dan tidak jelas asal-usul dari mana.

Di preambule terdapat 4 alinea :
  1. Alinea pertama menjelaskan secara tersirat tentang sumpah pemuda, karena melahirkan komitmen mengangkat harkat dan martabat hidup, dari sumpah pemuda baru melahirkan semboyan Bhineka Tunggal Ika, komitmen bersatu menjadi sebuah nation yang bercita-cita untuk mengangkat harkat dan martabat hidupnya.
  2. Alinea kedua menceritakan perjuangan kemerdekaan yang telah sampai kedepan pintu gerbang kemerdekaan, kata "pintu gerbang kemerdekaan" menunjukan bahwa bangsa kita sebelum memasuki gerbang kemerdekaan terlebih dahulu menetapkan dasar kemerdekaan,  di alinea kedua secara tersirat peristiwa 1 Juni 1945 dimana bangsa Indonesia menetapkan Pancasila sebagai dasar Indonesia merdeka.
  3. Alinea ketiga, sangat jelas peristiwa proklamasi dimana atas berkat rahmat Tuhan YME dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, mengangkat harkat dan martabat hidupnya, bangsa ini menyatakan kemerdekaan guna membangun kehidupan bangsa yang merdeka.
  4. Alinea terakhir menceritakan peristiwa bangsa Indonesia merdeka yaitu didirikannya NKRI yang berkedaulatan berdasarkan Pancasila yang diatur dalam suatu UUD, peristiwa tersebut disebut pengesahan UUD 1945 dan penetapan presiden-wakil (Soekarno-Hatta) oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 yang menandai berdirinya suatu Nation State bernama NKRI.
Seharusnya kalaupun ada 4 pilar itu yang dijadikan pilar, karena jelas, dan sistematis dari sejarah bangsa kita. Sumpah Pemuda-PANCASILA-Proklamasi kemerdekaan-dan UUD 1945, itu seharusnya. Bukan yang ada saat ini yang tidak jelas asal usulnya. Sekali lagi 4 pilar perumusan NKRI bukan 4 pilar kebangsaan, Pancasila bukalah pilar akan tetapi dasar Indonesia merdeka.