Rabu, 16 Januari 2013

Pancasila sebagai Jati Diri Bangsa !! GALI PANCASILA WAHAI GENERASI MUDA !!



Pada sidang BPUPKI Bung Karno mengatakan bahwa Pancasila adalah dasarnya Indonesia Merdeka,dan bisa kita katakan bahwa Pancasila adalah Sifatnya Bangsa Indonesia. Dan sifat ini adalah sari-sari hukum dari Bangsa Indonesia, karena dalam filsafat hukum dikatakan bahwa sejarah melahirkan hukum , maka bisa kita sebutkan juga bahwa PANCASILA adalah dasarnya segala sumber hukum dari Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga, Pancasila akan menjadi dasarnya bangunan sistem hukum yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia dan bersifat pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga.

Dengan sifatnya yang pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga di dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Pancasila dikatakan sebagai keyakinan standar Bangsa Indonesia. Atau dengan kata lain, Pancasila disebut juga sebagai falsafah bangsa. Sehingga sikap keberpihakan kita sebagai Bangsa Indonesia di dalam membangun dan mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara harus selaras dengan sila-sila di dalam Pancasila.
Sikap keberpihakan kita sebagai Bangsa Indonesia ini adalah merupakan suatu acuan atau standar kebangsaan yang harus dipenuhi, ditegakkan, dan dipelihara selama kita mengaku sebagai Bangsa Indonesia. Maknanya, sebagai Bangsa Indonesia, kita harus selalu memiliki sikap keberpihakan kepada tiap-tiap sila dari Pancasila, yaitu:

  • Berpihak kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  • Berpihak kepada manusia yang adil dan beradab.
  • Berpihak kepada keutuhan dan persatuan Indonesia.
  • Berpihak kepada rakyat yang dipimpin oleh hikmat (orang-orang yang selalu menambah ilmu pengetahuannya) dalam kebijaksanaan Permusyawaratan (lembaga bangsa) / Perwakilan (lembaga negara).
  • Berpihak kepada tegaknya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Sikap keberpihakan ini kemudian akan membangun ukuran-ukuran dimensi Pancasila yang lebih bersifat operasional untuk membangun dan mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara baik dari segi perangkat kerasnya maupun dari segi perangkat lunaknya. Ukuran-ukuran tersebut berkaitan dengan hal-hal sebagai berukut:
  • Kreativisme
  • Gotong Royong.
  • Kesetiakawanan Sosial.
  • Musyawarah.
  • Lumbung.
  • Sistem Tanah Adat.
  • Sistem Tata Ruang.

Maka berdasarkan dari pada ini bahwa PANCASILA adalah dasar indonesia merdeka , falsafah bangsa , sumber hukum Bangsa Indonesia , dimensi bangsa indonesia , maka bisa kita katakan bahwa PANCASILA adalah JATI DIRI BANGSA .
Yang menjadi pertanyaan didalam benak saya , "Kemanah sekarang PANCASILA ?"
Apakah sudah kembali terkubur dalam-dalam di Tanah Air Indonesia ?

Seperti halnya para Founding Fathers Bangsa Indonesia mereka menggali Pancasila , Sekarang Pancasila sebagai Jati Diri bangsa telah terkubur , Untuk itu kita sebagai sebagai Generasi Bangsa Indonesia , Kita Harus kembali Menggali Pancasila , Sehingga kita bisa disebut sebagai "Generasi Penggali PANCASILA" , sebagaimana sebutan itu pernah diterima para Founding Fathers kita . Amien.

Sabtu, 12 Januari 2013

UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia



Dalam sejarah kita mengetahui bahwa Indonesia adalah melahirkan Bangsa ( 28 Oct 1928 ) terlebih dahulu baru kemudian membentuk sebuah Negara ( 18 Agustus 1945 ) , bisa kita analogikan bahwa Indonesia ibarat sebuah bangunan dimana Bangsa Indonesia adalah sebagai fondasinya , sehingga bila Bangsa Indonesia bermasalah bisa dipastikan Negaranya pun bermasalah. Makna sebagai fondasi Bangsa Indonesia harus tumbuh dan berkembang berdasarkan sifatnya. Sehingga Jatidiri bangsa tidak akan terkikis dan hilang.

Dan untuk menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia , maka Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dibangun dari hukum yang bersifat pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga dikarenakan keberadaan Bangsa Indonesia sebagai pondasi. Hukum yang bersifat pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga akan membentuk suatu Keyakinan. Keyakinan ini kemudian tumbuh menjadi suatu Nilai. Pada akhirnya, berdasarkan Nilai yang tumbuh dan berkembang ini dibangunlah suatu Norma yang berisikan aturan-aturan yang ditetapkan sebagai hukum untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mengingat Norma ini bersifat tidak pasti, tidak tetap, dan belum tentu diterima oleh siapapun juga, maka aturan-aturan yang dibangun dan ditetapkan sebagai hukum untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara harus dikaji ulang terhadap kehendak untuk mengangkat harkat dan martabat hidup Orang Indonesia Asli sebagai "Sari Hukum" Bangsa Indonesia.Sehingga, Norma yang dibangun tersebut memiliki kapastian hukum.

Bangunan sistem hukum tersebut menunjukkan bahwa aturan-aturan yang dibangun dan ditetapkan sebagai hukum untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara harus terbangun dari Nilai yang tumbuh dari suatu Keyakinan yang dibentuk oleh Hukum yang bersifat pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga. Inilah bangunan sistem hukum yang mampu menjamin kesinambungan NKRI , Maka diperlukan Konstitusi untuk mengaturnya.

Perjalanan sejarah perjuangan pergerakan Indonesia Merdeka menunjukkan bahwa UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara Republik Indonesia selalu dalam kondisi yang dipersalahkan terhadap praktek-praktek yang tidak benar di dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau ini benar berarti perubahan yang dilakukan terhadap Batang Tubuhnya tidak boleh bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945.

Pada prinsipnya bahwa Konstitusi RI, UUD 1945, tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Gotong Royong. Amandemen yang telah dilakukan terhadap UUD 1945 yang telah disahkan utuh pada tahun 2002 secara esensial sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Gotong Royong. Maknanya, dominasi negara terhadap bangsa masih terlalu besar. Hal ini menunjukkan bahwa Konstitusi RI masih bertentangan dengan fitrah sejarah Indonesia, yaitu bangsanya dulu lahir baru negaranya terbentuk kemudian.

Oleh karena itu, realitas kondisi yang terbangun dan berkembang dewasa ini masih jauh dari apa yang diharapkan oleh para Founding Fathers Bangsa Indonesia. Yang paling jelas adalah bahwa Proses Musyawarah hingga kini belum terbangun dengan benar di dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi kehidupan berbangsa dan bernegara dibangun melalui Proses Demokrasi yang lebih mengandalkan kepada penggunaan Hak Suara untuk mengambil keputusan.

Karena hal iinilah menimbulkan ikatan kekeluargaan Bangsa Indonesia pun semakin melemah. Sehingga, fungsi Bangsa Indonesia sebagai pondasi akan semakin rapuh. Kondisi ini akan menyebabkan terancamnya kesinambungan NKRI.
Oleh karena itu, semakin tumbuhnya demokrasi tidak akan memperkuat NKRI, karena akan melemahkan kehidupan Bangsa Indonesia yang berfungsi sebagai pondasi. Sebagaimana kita ketahui, berdasarkan sejarah perjuangan Indonesia Merdeka, pondasi Indonesia adalah Bangsa Indonesia. Bila demokrasi tumbuh semakin semarak di dalam sistem NKRI, maka kehidupan Bangsa Indonesia sebagai pondasi akan semakin surut. Sehingga, kesinambungan kehidupan NKRI akan terancam. 

MARI KITA BERJUANG UNTUK MENGEMBALIKAN INDONESIA SESUAI DENGAN APA YANG DIAMANATKAN SEJARAH.

Minggu, 06 Januari 2013

Nalar dan Narasi Gerakan Mahasiswa ; Antara Ambiguitas dan Euforia




Diakui atau tidak mahasiswa merupakan element yang sangat vital bagi bangsa ini dalam menapaki sejarah panjang yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan yang tak dapat tergantikan dengan apapun. Bahwa, bukan sebuah mitos kalau kaum muda, utamanya mahasiswa dengan segala kapabilitas yang di milkinya mampu menciptakan perubahan yang fenomenal baik yang bersifat mikro maupun makro. Menjadi mahasiswa adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi seseorang. Hal ini tidak terlepas dari penempatan posisi seorang cendekia dalam strata sosial masyarakat Indonesia; dalam jenjang pelopor perubahan dan penentu sejarah masa depan. Sebuah posisi yang tidak mungkin dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki pengetahuan dan keilmuan mumpuni. Tidak pula oleh mereka yang telah terjebak dalam kutub-kutub kekuasaan dan modal yang telah menciptakan ruang pemisah dengan kearifan lokal.

Menjadi mahasiswa juga memiliki makna menjadi manusia “aku” yang bebas. Masyarakat memandang melalui persepsi psikologis mengenai masa “mencari jati diri”. Sebuah masa peralihan antara remaja menuju dewasa. Masa mencari jati diri kemudian diidentikkan dan dilekatkan pada pengertian masa yang penuh dengan gejolak jiwa, kegamangan, emosional, irasional, non-normatif, dan tidak bertanggungjawab. Nilai-nilai baru yang terdapat dalam dirinya tidak lagi melalui proses indoktrinasi semata, melainkan internalisasi nilai melalui penilaian reflektif. Membandingkan, mempertentangkan dan mengakulturasikan antara nilai-nilai (norma, agama, etika dan budaya) yang pernah didapat dengan realitas sosial yang sedang dialami. Sehingga sering terjadi kejanggalan dalam dunia mahasiswa, menurut pandangan awam. Maka, muncullah asumsi dan sentimen negatif tentang mahasiswa.

Kondisi bangsa yang semakin terjerumus pada jurang degradasi dalam semua dimensi kehidupan, mengharuskan mahasiswa berpikir ulang terhadap setiap apa yang akan di lakukan agar tidak terjebak dalam kunkungan kemunafikan. Sesuatu yang sangat naif jika kemudian mahasiswa berbondong-bondong memapankan diri sedang masyarakat harus terkapar oleh penindasan pemimpin yang “berengsek” dan tidak mempunyai hati nurani. Mereka tidak mau perduli kenapa anak ibu pertiwi kekurangan gizi. Maka dari itu, mahasiswa harus berani menjadi oposisi yang berpihak pada kemakmuran dan kesejahteraan negeri ini bukan malah berkoalisi dengan mereka, para lintah darat.

Seharusnya, mahasiswa harus memiliki prinsip dan nilai- nilai yang dapat dipegang dalam aktivisme gerakannya. Mahasiswa harus mempunyai kejelasan ideologi, pemikiran gerakan yang jelas dan terarah serta mau berkomitmen terhadap etika gerakan. dan juga mahasiswa harus menyadari bahwa kecurangan, kemaksiatan, penghianatan dan tindakan-tindakan amoral lainnya sebagai kotoran yang harus di bersihkan dari dunia pergerakan.

Tentang kepemimpinan, idealnya mahasiswa harus berkarakter demokratis-sederhana dan tidak mementingkan golongan secara berlebihan. Inilah yang sering kali terjadi dalam dunia mahasiswa-mahasiswa Indonesia. Ketika menjadi mahasiswa dengan lantangnya mereka sering meneriakkan reformasi, dan mengutuk korupsi dan antek-anteknya. Namun ketika mereka masuk dalam lubang jarum kekuasaan, yang terjadi malah sebaliknya, mereka memuseumkan "kata suci” yang bernama ”reformasi" dalam ruang ambisi. Dan memberhalakan korupsi dengan memuja-mujanya dalam setiap kesempatan. Inilah ironi dan absurditas yang selalu menjadi simponi dalam sejarah mahasiswa. Mahasiswa, juga tidak semestinya menggunakan jabatan dan nama lembaga untuk kepentingan pribadi. Misalnya, banyak oknum mahasiswa yang mengais ”hidup” dari proposal fiktif, hal inilah yang menjadikan mahasiswa mempunyai pradigma "profit oriented" sehingga terbentuklah mahasiswa pragmatis-ekonomis-konsumtif.

Pada titik ini, nalar gerakan mahasiswa sejatinya sudah berbasis intelektual, elegant, egaliter, inklusif, tidak harus meledak-ledak berteriak memperjuangkan sesuatu yang tak punya makna bak "tong kosong nyaring bunyinya". Jauhilah sikap yang menyebabkan kebodohan dan kenaifan seperti eksklusifisme yang merupakan kesombongan sosial, absolutisme sebagai kesombongan intelektual, dan fanatisme, agresivisme, dan ekstremisme yamg merupakan buah dari kesombongan emosional, serta isme-isme lain yang mereduksi sakralitas nilai-nilai dari setiap nalar dan narasi gerakan mahasiswa.
Akhir-akhir ini, fakta sejarah menunjukkan bahwa mahasiswa lalai dengan kewajibannya, yakni belajar mengasah sensitifitas intelektual yang seharusnya menjadi basis pijakan lgerak dan langkahnya. Mereka lebih memilih menjadi pengurus partai dan bersuka ria dengan dunia politik ketimbang mendalami keilmuannya. Mereka lebih senang ”berteman” dengan politikus busuk yang sering mendampret barang di dalam lemari ketimbang berteman dengan buku-buku bacaan. Harus diingat bahwa mahasiswa adalah agent of change dan agen of social control. Jadi tidak semestinya kita terpesona dengan keindahan politik praktis yang profan dan parsial. Apalgi untuk menuai kemapanan finansial. Sudah saatnyalah gerakan mahasiswa harus integral dalam seluruh sisi kehidupan kemahasiswaanya.

Mahasiswa dan gerakan reformisnya?
Reformasi yang satu dasawarsa lalu lahir dari gerakan mahasiswa untuk menghancurkan status quo kekuasaan, sekarang sudah dalam keadaan sekarat dan tertatih tatih dan agenda reformasinya telah mati suri. Kekuasaan yang mereka lawan (orde baru) telah lahir kembali menjadi neo orde baru. Ini terlihat dari orang-orang yang masih duduk mesra di pangkuan istana. Mereka masih orang-orang lama dan pemikirannya juga masih dalam format yang lama. Maka wacana yang perlu dikembangkan oleh mahasiswa adalah menyelamatkan reformasi dan senantiasa berhati-hati dengan neo orba. Mari kita lahirkan pemimpin yang berwatak reformis karena kita adalah pewaris utama reformasi bangsa ini.

Mari kita bersama-sama melakukan gerakan secara terpadu, pergerakan tidak hanya social politik saja, tetapi perbanyak kajian-kajian, seminar, diskusi kecil-kecilan dan lain sebagainya, karena itu juga bagian dari gerakan mahasiswa. Sehingga, saatnya terlibat dalam masyarakat bisa jadi mahasiswa "palu gada" apa lu mau gua ada.

Jadilah mahasiswa organik-traspormatif, tidak selalu mengamini yang ada tapi juga inovatif progresif dalam menghadapi kemajuan zaman. Karena dulu dan sekarang itu pastilah berbeda. Jangan juga menjadi mahasiswa yang cuma menerima kuliah dari Dosen yang bisa menyebabkan rasa kekritisan dan rasa empati kita pudar dan menghilang yang pada akhirnya menyebabkan kita teralienasi dari lingkungan masyarakat kita sendiri. Maukah kita berbaris lurus dari deretan panjang orang yang menunggu lowongan kerja? Tapi juga jangan terpaku dengan aksi karena itu hanya setu metode, perbaikilah manajemen aksi, optimalkan semua saluran komunikasi dari obrolan sampai teknologi, termasuk internet.

Pesan terakhir. Terkait dengan gerakan mahasiswa yang terporalisasi dan terfragmentasi oleh ideologi dan kepentingan. Memang tidak ada sejarahnya semua organisasi mahasiswa bersatu kompak. Perbedaan adalah keniscayaan, dan tidak harus disatukan. Karena bisa jadi itu sebuah kekayaan. Yang harus dibangun dalam polarisasi adalah kematangan dalam gerakan dan kesiapan untuk berbeda. Kalau disamakan mungkin susah juga. Tapi kalaupun berkonflik bagaimana konflik itu yang fungsional bukan disfungsional. Kalau mau konflik yang produktif dan cerdas. Debat ilmiah, bukan dengan cara-cara yang tidak elegan. Sekarang masalahnya, sudah terpolarisasi, saling mencurigai, dan juga jarang mau berinteraksi.


Sabtu, 05 Januari 2013

Donnalysis


On a Weagon bound the market
There’s a calf with a mournful eye
High above him there’s a swallow
Winging swiftly through the sky


How the winds are laughing
They laugh with all they might
Laugh and laugh the whole day through
And half the summers night


(Chorus)
Donna Donna Donna Donna
Donna Donna Donna Don
Donna Donna Donna Donna
Donna Donna Donna Don


“Stop complaining!” Said the farmer
Who told you a calf to be?
Why don’t you have wings to fly with
Like the swallow so proud and free?


Calves are easily bound and slaughtered
Never knowing the reason why
But whoever treasures freedom
Like the swallow has learned to fly


Ini adalah terjemahan versi saya untuk Donna Donna-nya Joan Baez :

Di sebuah gerbong yang membatasi pasar
Ada seekor anak sapi dengan mata yang berduka.
Jauh tinggi diatasnya ada seekor burung layang layang,
mengepakkan sayap dengan cepat melintasi angkasa.

Betapa angin angin itu tertawa,
mereka tertawa sekuat mereka.
Tertawa dan tertawa sepanjang hari,
serta separuh malam musim panas.
Donna Donna Donna Donna,
Donna Donna Donna Don,
Donna Donna Donna Donna,
Donna Donna Donna Don.

“Berhentilah mengeluh!”,kata si Petani.
Siapa suruh jadi anak sapi?
Kenapa tak kau punyai sayap untuk terbang?

Seperti burung layang layang, sangat bangga dan bebas.
Anak anak sapi mudah diikat dan dibunuh
tanpa tahu alasannya
Tapi siapapun yang mencari kebebasan,
seperti burung layang layang, harus belajar terbang.


Saya tahu, saya tidak dapat memberi penafsiran yang tepat untuk lagu ini. Saya sama sekali tidak tahu apa yang pencipta lagu ini rasakan, juga apa yang ingin dia sampaikan waktu menulis lagu ini. Apa yang saya tulis disini hanya sebatas penafsiran pribadi. Apa pendatpat saya tentangnya dan apa yang saya rasakan waktu mendengarnya.

Saya pertama kali mendengar lagu ini ketika saya menonton film Gie di rumah saya bersama seorang teman saya (sebenarnya kami tak bisa dibilang menonton bersama, sebab dia keluar rumah duluan karena tidak paham dengan ceritanya). Dinyanyikan oleh Ira (Sita Nursanti), sambil memetik gitar di sebuah malam kesenian. Saya rasa lagu ini cukup enak didengar, dan saya cukup penasaran dengan liriknya. Setelah dapat liriknya, saya membacanya dikamar, mencoba mengerti, dan inilah yang saya dapatkan :
Lagu ini intinya tentang kebebasan. Tentang hak kita menentukan pilihan. Tentang keharusan kita bergerak, melakukan sesuatu, bukannya menyerah atau lebih parah lagi pasrah. Lagu ini tentang ketidakberdayaan, dan bagaimana kita mengubahnya.

Bait pertama lagu ini melukiskan dua sisi, kelemahan dan kekuatan. Anak sapi mewakili kelemahan, sementara burung layang layang melambangkan kekuatan dan lebih tepat lagi kebebasan. Yang saya tangkap, ada perbedaan yang begitu timpang. Si Burung bisa membuktikan diri, punya kekuatan dan pencapaian. Sementara Si Anak Sapi dihadapkan pada kelemahan dirinya dan penyesalan terhadap kelemahan itu.

Dalam bait kedua diceritakan, betapa Si Anak Sapi telah ditertawakan oleh lingkungannya. Terus-menerus, lingkungan Si Anak Sapi menghinanya atas kelemahannya. Di bait ketiga alias chorusnya, saya kurang begitu bisa mengartikan apa arti kata Donna. Kalau dilihat dari penulisannya yang menggunakan huruf kapital di awal, Donna bisa diartikan tempat atau nama orang. Tapi masalahnya di bait bait selanjutnya, orang atau tempat yang bernama Donna ini tidak disinggung singgung lagi, pembahasan lagu ini kembali ke Si Burung dan Si Anak Sapi. Menurut saya, Donna ini hanya semacam bunyi saja. Tapi entah….

Langsung saja ke bait keempat. Menurut saya, di bait inilah kita bisa menemukan inti lagu ini. Inti yang sudah saya sebut sebelumnya. Sebenarnya kita sama sekali tidak diijinkan mengeluh. “Siapa suruh jadi anak sapi?” Kalimat itu menyatakan bahwa sebenarnya kita punya pilihan. Kitalah yang menentukan mau jadi Si Burung atau Anak Sapi. Kita yang menentukan apa yang kita miliki, kalau kita bisa punya sayap dan terbang bebas, kenapa harus diam terikat? Apa tindakan kita, itulah yang menentukan siapa kita. Itulah pilihannya, bertindak atau diam, memilih lemah atau kuat dan bebas seperti burung layang layang? Bait ini menjelaskan kita tidak dipasung takdir.

“Who told you a calf to be?” , bisa juga diartikan: “Siapa yang menentukan kamu itu jadi anak sapi?” dan saya pikir jawabannya tidak ada. Tidak ada yang menentukan kita menjadi ini atau itu. Kita tidak ditentukan, tapi kita mencari. Hidup ini sebuah pencarian, perubahan, kearah yang lebih baik tentunya. Hidup ini bukan cuma menjalani apa yang ditentukan, hidup ini juga butuh keputusan, butuh pilihan, mau jadi orang yang seperti apakah kita?

Dan tentang mengeluh, yang saya tangkap dari lagu ini, mengeluh itu tidak perlu, tidak penting. Yang penting adalah, berubah, berbuat, bertindak, memilih yang lebih baik. Sehingga, pada akhirnya kita bebas, menjadi seseorang yang kita pilih dan kita ingini, dan kita bisa berbangga untuk itu, seperti burung layang layang.

Bait kelima, menunjukkan kita tak boleh lemah seperti anak anak sapi yang mudah dibatasi, mudah dihilangkan, dihancurkan tanpa dia tahu kenapa, dan tanpa dia menyadarinya. Bodoh sekali, lemah tapi tidak sadar akan kelemahannya, bahkan tidak berbuat apapun untuk mengubahnya.

Tapi segalanya berbeda untuk orang orang yang menghargai, mau mengerti dan pelan pelan mengumpulkan sendiri kebebasannya. Dalam lagu ini mereka diakatakan seperti burung layang layang yang sudah belajar terbang. Mereka orang orang yang telah memilih, telah mengambil keputusan dan berusaha. Orang orang yang tahu siapa dirinya dan kini telah mendapat kebebasan dan kekuatannya.

Berikut kutipan dari buku Catatan Seorang Demonstran yang menegaskan apa arti lagu ini
Calves are easily bound and slaughtered. Never knowing the reason why
But whoever treasures freedom. Like the swallow has learned to fly
Intinya, kita tidak boleh menerima nasib buruk dan mengenggapnya sebagai jalan hidup yang telah ditentukan bagi kita, pasrah menerimanya sebagai sebuah kutukan…Kalau kita ingin hidup bebas, kita harus belajar terbang.

Begitulah, sekarang saya, berdasarkan pemahaman saya sendiri, merasa lagu ini punya makna yang cukup bagus. Sekarang saya tahu, dan sudah memutuskan untuk memilih jadi burung layang layang. Semoga saya, saya pasti bisa, begitupun anda.

JADI JANGAN PERNAH MAU DAN SELALU DISALAHKAN SAMA DOSEN,
DOSEN BUKAN DEWA, MAHASISWA BUKANLAH KERBAU/SAPI DUNGU YANG DISURUH-SURUH!

Masihkah Mahasiswa Mempunyai Harga Diri?


Kemajuan dan perkembangan jaman membawa dampak dan perubahan begitu kuat yang terasa dalam berbagai aspek dan sendi kehidupan. Dampak sosial, pengaruh interaksi, pengaruh pergaulan dll. Perkembangan dan gonjang ganjing dunia politik tanpa tersengaja membawa mahasiswa terseret kedalam arusnya. Apakah hal itu lazim? Saya rasa dan saya kira hal itu lazim. Tergantung dari akal dan pikiran mahasiswa tersebut.

Selama mahasiswa masih memiliki adab sebagai orang yang intelek, ketika mahasiswa tidak lagi mengedepankan otot, saya fikir harga diri itu masih dimiliki mahasiswa. Selama ini yang membuat masyarakat memandang negatif mahasiswa adalah mahasiswa belum mampu menunjukkan bahwa dia adalah orang yang intelektual, karena masih mengedepankan ototnya, tidak jarang arogansi dan premanisme selalu di kedepankan dalam menyelesaikan masalah dan menghalalkan segala cara.

Berani mengkritik pihak birokrat namun ternyata yang mengkritik tidak mampu bersifat ksatria. Organisasi mahasiswa sering kali hanya dijadikan alat untuk mencari kehidupan, pergeseran orientasi mahasiswa dalam bergabung di sebuah organisasi juga membuat harga diri mahasiswa menjadi dipertanyakan.
Budaya diskusi perlu di budayakan kembali dikalangan mahasisiwa, bukan budaya kongkow-kongkow. Keberhasilan sebuah organisasi dan pergerakan mahasiswa bukan hanya di nilai ketika dia mampu mengkritik kebijakan tapi ketika mahasiswa mampu memberikan solusi, dan melakukan karya nyata dengan kegiatan-kegiatan yang kreatif, bemanfaat, dll. Jangan pandang besar-kecilnya kegiatan tapi pandanglah dari kebermanfaatan kegiatan itu.

Bicara independensi saya fikir di dunia ini tidak ada orang yang independen ketika bicara konteks individu karena setiap orang pasti akan punya kecenderungan terhadap satu pilihan, yang terpenting adalah bagaimana kita mampu bersikap profesional. Artinya ketika kita secara kelembagaan maka jagalah keindependensian sikap kita secara kelembagaan, namun ketika secara individu atau personal itu adalah hak setiap orang, tidak ada yang berhak mencampurinya. (RMA, G-10)

SBY dan BEM ?



TULISAN ini terinspirasi dari tulisan Aris Ananta, seorang pengamat ekonomi yang menulis Selamat Tinggal Pertumbuhan di salah satu surat kabar nasional.

Aris Ananta mengatakan, sesungguhnya orang telah lama menginginkan lebih dari GDP (pertumbuhan pendapatan bruto kotor) untuk mengukur pembangunan dengan banyak indikator dan tidak terpaku dengan GDP saja. Aris Ananta menegaskan, "Hidup bukan hanya soal Uang, tetapi juga kesehatan, keamanan, lingkungan, tata kelola pemerintahan yang baik, dan banyak hal lagi."

Dalam tulisannya itu, Aris menyinggung pertumbuhan nasional dapat tinggi. Namun, apa gunanya jika lingkungan rusak, orang tidak sehat, dan hidup tidak nyaman. Oleh sebab itu mengapa OCED, sebuah organisasi kerja sama ekonomi dan pembangunan kini menggunakan 11 indikator untuk mengukur kemajuan perekonomian yang mencakup pendapatan, perumahan, pekerjaan, masyarakat, pendidikan, lingkungan, pemerintahan, kesehatan, kepuasan hidup, keamanan, serta keseimbangan pekerjaan dan hidup.

Pemerintahan SBY

Belum hilang lagi dari ingatan, kasus Ruyati yang jadi TKI di Saudi karena di negeri sendiri tak ada “lapak” lagi untuk mencukupi. Ujung-ujungnya TKI juga moratorium, sama dengan moratorium tebang hutan. Belakangan, ketua DPR Marzuki Ali mengusulkan moratorium penerimaan PNS. Negara moratorium?

Sesungguhnya mengukur pertumbuhan hanya dari perekonomian berarti melupakan beberapa ukuran yang sudah ditetapkan OCED. Maka bagaimana nasib pendidikan kita? Melanjutkan tradisi UN, yang “menekan” jiwa itu? Sampai takutnya sekolah dianggap gagal karena ukuran sekolah sukses adalah banyaknya siswa yang lulus. Keberhasilan sekolah tidak diukur dari seberapa kreatif siswanya, seberapa jujur, baik, santun, dan peduli dengan sekitarnya.

Lantas seperti kita ketahui belakangan ada Sekolah “membiarkan” contek massal. Berhasilkah pendidikan Kita? Ya, berhasil. Angka kelulusan memang meningkat, tapi...

Pemerintahan Mahasiswa (baca: BEM)
 Banyak yang mengatakan nasib Indonesia masa depan ada di tangan pemuda. Salah satu elemen dalam pemuda (mahasiswa) adalah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Baru-baru ini, salah satu surat kabar nasional memberitakan bahwa BEM tak lagi diminati. Alasannya banyak. Mulai dari alasan manajemen waktu yang sulit, tugas menumpuk, terlambat lulus, dan lain sebagainya.

Kenapa BEM tak lagi diminati? Penulis melihat ada dua alasan, pertama ada ukuran yang keliru di dalam pendidikan tinggi kita. Salah satu ukuran yang lazim dibincangkan di kalangan mahasiswa adalah mengatakan mahasiswa terlambat lulus sebagai mahasiswa tidak atau belum berprestasi. Sekali lagi ukurannya selalu angka.

Kedua, BEM hanya fokus pada proker (program kerja) dan selalu begitu. Keberhasilan BEM diukur dari seberapa banyaknya program kerja yang telah dilaksanakannya. Bukan dari apakah program kerja itu berdampak besar bagi mahasiswa di kampusnya, masyarakatnya, dan lain-lain. Lalu apa bedanya dengan event organizer (EO) yang kerjaannya mengurusi “event” dan “proyek” itu?

Program kerja yang banyak dan belum berdampak itu membuat internalnya juga terganggu. Ujung-ujungnya membosankan karena tuntutannya adalah terlaksananya Program kerja agar dianggap sukses menjadi pemerintahan kampus. Berfokus pada program kerja membuat BEM jadi kaku. Anggaplah saat ini ada isu nasional yang hangat, kalau tidak ada dalam proker maka tidak akan ada diskusi-aksi di kampus.

Karya-karya ilmiah juga begitu, kesuksesannya hanya diukur dari apakah sudah melaksanakan pelatihannya? Bukan dari seberapa banyak orang yang terpacu “berkarya” setelah pelatihan itu. Titiknya adalah mana tindak lanjutnya? Alasannya selalu “kembali ke pribadi masing-masing”.

Antara SBY dan BEM
Kalau yang menjadi ukuran keberhasilan hanya GDP dan terlaksananya Program kerja, penulis khawatir kita akan terjebak di lembah “Retorika”. Benar, kelihatan hebat di podium membacakan keberhasilan-keberhasilan itu, penuh tepuk tangan meriah pengunjung (yang mayoritas anggota/kelompoknya sendiri).

Tapi apa kenyatannya juga begitu? Apa masyarakat merasakan sebenar-benarnya merasakan “kerja” pemerintahan itu? Atau ujung-ujungnya masyarakat harus mencari jalan keluar untuk hidupnya sendiri? Seperti Ruyati yang menjadi TKI dan “dibunuh” di Saudi?

Mari kita terus memperbaiki diri, berdoa untuk Indonesia dan pemuda yang lebih baik. Pemuda yang tidak menjual “ayat-ayat”-Nya dengan harga murah dan mengatakan apa yang tidak dilakukannya. Semoga!!
(FA)