Kamis, 13 Februari 2014

OSPEK PARADOKS DAN IDEALISME MAHASISWA

Mahasiswa yang selalu merepresentasikan diri sebagai sosok idealis, pembebas atau pembela kaum tertindas, tiba-tiba berubah seratus delapanpuluh derajat ketika melaksanakan Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) bagi adik-adik angkatannya. Walau telah ada perubahan mendasar di kampus-kampus tertentu, akan tetapi, di sebagian besar kampus, Ospek masih diwarnai dengan unsur kekerasan, penindasan dan militerisme sebagaimana tercermin dalam tindakan membentak-bentak, menggoblok-goblokkan, dan penciptaan suasana yang anti dialog. Atau pada pemberian sanksi yang cenderung bersifat fisik semata seperti push-up, lari jongkok, berdiri dengan satu kaki, lari keliling lapangan, dan lain-lain. Hukuman semacam itu dipilih tanpa ada kaitan sama sekali dengan pembentukan karakter dan idealisme mahasiswa.

Ospek yang demikian itu justru menimbulkan “situasi penindasan”. Mahasiswa lama (panitia Ospek) sebagai penindas dan mahasiswa baru (peserta Ospek) sebagai kaum tertindas.

Sebenarnya, setiap tahun, masyarakat telah menyampaikan banyak kritikan dan keberatan atas pelaksanaan ospek yang ditengarai banyak diwarnai kekerasan, penindasan dan nuansa militer seperti itu (hal-hal yang sesungguhnya sangat dibenci dan ingin dihapuskan oleh mahasiswa dari permukaan bumi Indonesia). Akan tetapi, nyatanya, walau selalu menuai kritik, pelaksanaan Ospek tidak banyak berubah. Tetap penuh dengan kekerasan, penindasan dan militerisme, sekalipun setiap tahun selalu ada korban yang berjatuhan, bahkan ada beberapa yang sampai mengalami kematian yang tidak perlu.

Yang menarik untuk dipertanyakan adalah, kenapa tiba-tiba para mahasiswa panitia Ospek, yang nota bene dari kalangan aktivis juga, menjadi “bebal” dan seperti tidak mempan kritik. Sama seperti umpatan mereka terhadap penguasa ketika para mahasiswa itu berdemonstrasi. Kenapa pula mereka seperti menikmati dan puas menjadi pelaku kekerasan, menjadi penindas dan bergaya militeristik.

Meminjam analisis Paulo Freire, seorang pemikir dan praktisi pendidikan pembebasan dari Brasil, para panitia Ospek bisa seperti itu karena dulunya pada waktu menjadi peserta Ospek mereka juga pernah mengalami “situasi penindasan”. Dalam bukunya Pedagogi of The Oppressed (diindonesiakan dengan judul Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, 1985) Freire mengingatkan bahwa dalam situasi penindasan, kaum tertindas melakukan identifikasi secara kontradiktif. Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai mahluk yang terbenam, terhina, terlepas dan tercerabut dari kemanusiaannya. Adapun di hadapan mereka adalah kaum penindas yang berkuasa dengan harkat kemanusian yang sempurna.

Kaum tertindas sulit untuk menemukan citra diri di luar kontradiksi penindas-tertindas. Karena itu, bagi mereka, upaya pembebasan diri untuk mendapatkan harkat dan martabat kemanusiannya, adalah dengan menjadi manusia yang memiliki citra diri seperti yang mereka temukan dalam sosok para penindas. Teori ini bisa menjelaskan mengapa seorang buruh yang diangkat menjadi mandor atas kawan-kawannya akan bertindak segalak dan sekasar majikannya, bahkan lebih. Atau dalam masa penjajahan Belanda dahulu, orang-orang pribumi yang diberi wewenang oleh penjajah Belanda, yang di kenal sebagai londo ireng, seringkali malah bertindak lebih kejam dibandingkan Belanda itu sendiri.

Teori ini pula yang bisa menjelaskan, mengapa setelah berada dalam penindasan dan kekerasan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun, seakan-akan kini lahir manusia manusia khas Orde Baru (homo orbaicus), yaitu manusia-manusia yang mengadopsi budaya kekerasan, budaya penindasan dan budaya memaksakan kehendak, dari penguasanya itu (Orde Baru).

Hal yang sama juga terjadi pada panitia Ospek. Yang paling dominan dalam kesadaran mahasiswa lama panitia Ospek tersebut adalah, Ospek merupakan arena terbaik untuk menampilkan citra dirinya sebagai penguasa. Citra diri itu mereka dapatkan, dahulu ketika mengikuti Ospek. Waktu itu, mereka sebagai pihak yang tertindas melakukan identifikasi bahwa alangkah enaknya, alangkah gagahnya, alangkah berkuasanya, alangkah bermartabatnya menjadi panitia Ospek.

Kini ketika menjadi panitia, mereka mendesain Ospek yang melahirkan “situasi penindasan”. Para peserta yang tertindas akan menginternalisasi citra diri pelaksana Ospek yang menindas itu. Untuk kemudian, pada suatu saat mereka akan mereproduksi citra diri itu ketika kesempatan memungkinkan. Yaitu ketika mereka menjadi pelaksana Ospek.

Selain itu, penindasan adalah penjajahan kesadaran lewat praktik “pemolaan”. Kaum tertindas dipaksa untuk memilih atau melakukan apa yang di”pola” oleh penindasnya. Kaum tertindas tentu akan berfikir seribu kali untuk melakukan perlawanan, karena hal itu akan memberatkannya sendiri. Lagi pula, belum tentu kawan-kawannya yang lain akan membantu. Kebanyakan kaum tertindas akan memilih diam dan patuh. Keadaan seperti ini membuat kaum tertindas akan larut dalam sikap masokhis. Begitu pun yang terjadi pada peserta Ospek. Mereka melakukan banyak tindakan dan hukuman seperti yang dipolakan oleh para panitia Ospek, tanpa banyak berani menentang walaupun tindakan-tindakan itu sama sekali tidak logis, tidak rasional dan tentunya tidak mereka inginkan.

Dari paparan di atas, apabila pelaksanaan Ospek masih diwarnai dengan nuansa penindasan, setidaknya memunculkan dua hal. Pertama, Ospek melahirkan “situasi penindasan”. “Situasi penindasan” akan melahirkan sosok-sosok penindas baru (sadistis) yang suatu saat apabila mendapatkan kesempatan akan mencoba untuk melahirkan situasi penindasan baru, begitu pula nanti seterusnya, sehingga Ospek itu sendiri merupakan forum konservasi dan reproduksi penindasan. Kedua, Ospek akan melahirkan generasi yang patuh, acuh tak acuh, tidak kritis dan tidak berani menentang terhadap praktik-praktik penindasan.

Lebih dari itu, Ospek juga bisa jadi akan melahirkan generasi masokhis. Generasi seperti itu merupakan lahan subur bagi tumbuhnya praktik-praktik penindasan. Dengan begitu, maka Ospek justru menjadi sebuah rutinitas yang berperan sebagai konservasi atau pelestari penindasan. Kalau diproyeksikan dalam kehidupan bangsa, Ospek yang seperti itu justru memberikan kontribusi negatif terhadap proses demokratisasi yang saat ini mulai bergulir, karena Ospek justru melahirkan generasi yang berpotensi menjadi penindas, sadistis dan a-demokratis jika sedang berkuasa, sekaligus generasi yang patuh, masokhis, tidak kritis dan acuh tak acuh terhadap berbagai praktik penindasan, ketika sedang di bawah kekuasaan pihak lain.

Visi Ospek yang ideal adalah yang bersuasana egaliter, dan selaras dengan proses demokratisasi. Dalam kerangka ini, Ospek dilaksanakan sebagai upaya melahirkan mahasiswa yang sadar akan posisi dirinya sebagai agen of change yang kritis, sadar akan persoalan sosialnya, berani menentang segala bentuk penindasan dan mempunyai komitmen atas keberlangsungan proses demokratisasi bangsa.

Visi yang seperti ini tentu saja tidak menghendaki praktik penindasan dan praktik a-demokratis dalam pelaksanaanya. Visi ini hanya bisa dicapai apabila Ospek, meminjam Freire, didesain sebagai praktik dari “pendidikan pembebasan”. Pendekatan yang dipakai adalah pendidikan orang dewasa (andragogy) dengan metode yang bisa mendorong peserta untuk aktif dan memiliki kesadaran kritis. Pola seperti ini mengharuskan adanya suasana yang egaliter, hubungan yang komunikatif, empatif dan tidak ada unsur dominasi di dalamnya. Baik peserta Ospek maupun fasilitator/ panitia Ospek terlibat dalam proses pencarian bersama. Yang terjadi bukan peserta belajar “dari” fasilitator, tetapi peserta belajar “bersama” fasilitator.

Ospek merupakan proses belajar bersama ( tranpersonal learning ) dengan berbagai tahapan meliputi penyadaran ( konsientasi ), pemberdayaan (empowering ), pembebasan (liberasi ) dan pemanusian ( humanisasi ).

Penyadaran merupakan proses yang mengajak peserta untuk memahami dirinya dan realitas serta problema kehidupan diri maupun sosialnya. Penyadaran akan membawa peserta dari kesadaran naif atau bahkan magis, menuju manusia dengan kesadaran kritis. Penyadaran kemudian diikuti dengan pemberdayaan, yaitu upaya menumbuhkan kemampuan analisis kritis untuk memahami dan memberikan solusi atas berbagai problem kehidupan.

Apbila kedua proses telah terlewati, selanjutnya adalah pembebasan. Dengan kesadaran dan keberdayaan yang di milikinya, peserta di ajak untuk memberikan penilaian yang mandiri, menentukan dirinya sendiri serta mempunyai sikap yang mandiri, bebas dari hegemoni masa lalu tradisi dan negara.

Selain membebaskan peserta Ospek, Ospek seperti itu sekaligus juga membebaskan mahasiswa lama (panitia ospek) dari belenggu hegemoni citra diri penindasnya dulu, sehingga mereka tidak lagi “terpenjara” oleh keinginan melakukan penindasan, kekerasan dan balas dendam.

Ospek yang dilakukan dengan visi dan metode semacam itu, pada satu sisi sesuai dengan nilai-nilai idealisme yang selama ini dengan bangga diakui sebagai kesejatian mahasiswa. Sementara di sisi lain diharapkan mampu melahirkan generasi yang demokratis, egaliter, otonom, dan mempunyai komitmen terhadap berbagai problem masyarakatnya. Rasanya generasi seperti itulah yang di butuhkan perannya dalam proses tranformasi bangsa mendatang.

Dari pandangan holistik terhadap apa dan bagaimana OSPEK tersebut, kita bisa menarik kesimpulan bahwa acara tersebut memiliki esensi yang sangat krusial. Tujuannya adalah untuk melatih mahasiswa agar berjiwa seperti layaknya seorang mahasiswa, yakni sebagai alat kontrol sosial dan oposisi pemerintah yang sebenarnya.

FUCKLENTINE

Kepada Perempuan-Perempuan yang Jatuh Cinta di Hari Valentine,

Surat ini kutuliskan pada perempuan-perempuan yang jatuh cinta di hari Valentine, ketika bumi berwarna merah jambu, jalan-jalan berubah ungu, pohon flamboyan membungakan hujan, gerimis baru saja usai.

Wangi tanah, wangi kopi... menjadi waktu yang bergulir pelan, seribu kenangan menciptakan baris-baris rumah puisi dan wajah perempuan seperti mata stasiun tua yang hidup kembali harapannya ketika kereta senja datang.

Tak ada yang lebih indah dari senyum perempuan ketika ia jatuh cinta, ketika ia dengan pelan-pelan merakit harapan, dan bertanya tentang masa depan. Hujan rindunya adalah mata yang lekat pada kekasihnya, ia terus menerus melukiskan mimpinya dengan aksara yang ia tulis dengan sepenuh hati di atas kanvas hatinya : “hati perempuan”.

Hati perempuan adalah rumah kaca kehidupan, lihatlah bagaimana mata perempuan memberikan kuas kehidupan, melukisnya perlahan, ia menggambarkan rumput-rumput, menggambarkan atap-atap rumah, jembatan lengkung, bunga yang baru saja mekar dan matahari yang berbinar-binar. Dengan gembira mata perempuan menjadi bulan bulat yang cahayanya menimpa batu-batu. Hati perempuan begitu indah, tapi ia juga rumit, ia penuh teka-teki, ia adalah tebakan paling sulit dalam sejarah kehidupan manusia. Tanpa dinyana, hati perempuan sepertinya sabda Tuhan. Tapi manusia sering melengos dan meremehkan, maka tubuh, pikiran dan hati perempuan dipenjara dalam dunia penuh prasangka laki-laki.

Pada hari Valentine, jutaan ton coklat diproduksi, gambar-gambar bunga merah hati, harapan-harapan yang tumbuh seperti tumbuhnya daun-daun padi, kata-kata penuh dengan ungkapan ‘aku cinta padamu’ seluruh gerbong kehidupan sarat proklamasi rindu, tapi kita lupa membebaskan hati perempuan, memberinya sayap dan terbang ke angkasa memenuhi janji Tuhan tentang cinta yang menjadi tugas sejarah dimana Perempuan adalah inti kehidupannya.

Perempuan adalah mereka yang ditugaskan Tuhan untuk menghidupkan api abadi cinta, hanya kepada perempuan lelaki kehilangan nafsu membunuhnya, kehilangan kebringasannya untuk menghajar kehidupan lewat darah kekerasan, hanya perempuan saja yang mampu mengubah warna merah darah kekejaman menjadi warna merah hati, warna kasih sayang.

Tapi sayangnya tubuh, pikiran dan jiwa perempuan kita penjara, ia kita paksa untuk menumbuhkan cinta, ia kita perbudak, tubuhnya kita jadikan aset milik kita, pikirannya kita jejali dengan doktrin-doktrin yang menghinakan, dan jiwanya kita perbudak seakan-akan tanpa laki-laki perempuan hanyalah mahluk lemah peminta-minta.

Lihatlah mata perempuan, lihatlah bola matanya yang bulat gundu, pahamilah hatinya, bagaimana mereka selalu meminta pada kita kaum lelaki untuk sejenak saja berhenti menghentikan kompetisi-kompetisi, menghentikan perlombaan-perlombaan, beristirahat sejenak, duduk tenang pada beranda rumah dan melihat dunia. Melihat bumi yang indah, melihat anggrek yang mekar, melihat tepi pantai yang bergelombang, ombak-ombak laut seperti tenaga rindu tanpa henti dan matahari pagi yang memperbaharui harapan. Perempuan selalu berkata pada kita ‘hati-hati’ sebenarnya itu pesan Tuhan agar kita terus menjaga mimpi lelaki agar tetap merawat kehidupan.

Kepada perempuan-perempuan di hari Valentine, surat ini kutuliskan untukmu, janganlah engkau terus menghidupkan kesedihan, janganlah engkau menangis tentang masa lalu, janganlah engkau selalu terus menerus membangun batu bata putus harapan dan menjadikan kesedihan sebagai rumah batu-mu. Karena asal kalian tahu, kalian adalah mahluk istimewa yang diciptakan Tuhan untuk menjaga cinta, untuk merawatnya, untuk menghadiahinya, dibalik omelan-omelan kalian, keluhan kalian, ngambeknya kalian, dan seribu kekesalan sesungguhnya kalian sudah mengumpulkan kayu-kayu bakar cinta dan tinggal kalian hidupkan dengan api cinta itu, apa apinya?

Senyum kalian, senyum perempuan.........

Rabu, 01 Januari 2014

Catatan Akhir tahun 2013


Tahun 2014 bisa dikatakan tahun sulit, karena belum-belum kita sudah dihadapkan pada angka hancurnya rupiah pada level Rp. 12.274,- (31 desember 2013), ini adalah level terendah sejak masa era reformasi. Sementara di sektor impor kita mengalami kenaikan signifikan USD191,67 miliar dan ekspor sebesar USD190,04 miliar. Menurut catatan BPS defisit terbesar berasal dari impor minyak US$ 5,59 milyar. Besarnya defisit minyak memberatkan anggaran kita.

Tahun 2014 sebagai Tahun Politik, namun sayangnya menurut catatan Indonesian Indicator, sebuah lembaga yang mencatat “Dinamika Pemberitaan Media” menempatkan Politik erat kaitannya dengan pemberitaan masalah-masalah korupsi, politik bukan lagi sebagai “alat jalan keluar dari persoalan-persoalan masyarakat” tapi politik menjadi sebuah tontonan panjang melelahkan bagaimana pejabat-pejabat negara berikut politisi dan cukong menjadi pemain sulap duit anggaran negara.

Politik bukan lagi sebagai ‘sebuah jalan hidup’ tapi oleh rezim sekarang politik menjadi “jalan mencari penghidupan” ditengah kesengsaraan rakyat, naiknya harga-harga di pasar-pasar, para politisi dan pejabat negara besar-besaran merampok dana negara.

Tahun 2014 adalah tahun persimpangan, tahun dimana kita mau jadi lebih buruk atau lebih baik. Di tengan suara-suara bermulut comberan para politisi muncul satu fenomena “Jokowi”, kemunculan ini jadi kejutan banyak orang, karena sekali gebuk panggung, Jokowi menjungkalkan tujuh calon Presiden.

Kita memang sedang mengalami “Penyimpangan” jauh fungsi negara, negara yang tadinya merupakan idealisme tertinggi peradaban, kini malah dijadikan sarang comberan untuk mengeruk uang, rakyat tidak lagi menjadi sumber perhatian pejabat negara, rakyat dijadikan hanya “cek kosong” bagi perdebatan-perdebatan politik.

Apakah kita bisa berubah?, apakah kita bisa memulai politik dengan penuh etika dan berperadaban modern, apakah Partai bisa menjadi agen perubahan masyarakat bukan agen makelar proyek?, kita memahami memang ini sulit, tapi dengan berusaha kita akan mendapatkan jalan keluarnya.

Tahun 2014 memang akan menjadi tahun yang berat, tapi dengan mengucapkan “bismillah” kita hadapi tahun ini dengan penuh keberanian, dengan penuh percaya diri bahwa Indonesia kita akan bangkit kembali dari keterpurukannya dan menjadi bangsa terhormat. Sudah saatnya kita menyerukan Indonesia Raya di dalam hati kita, karena hanya bangsa ini yang mampu mengembalikan kita bukan saja ke dalam perahu kenangan-kenangan di masa lalu, tapi bagi anak-anak masa depan.

Semoga Tahun 2014 bisa menjadi tahun yang jaya, tahun berdikari, tahun kemenangan bagi Indonesia.