Mahasiswa yang selalu merepresentasikan diri sebagai sosok idealis, pembebas atau pembela kaum tertindas, tiba-tiba berubah seratus delapanpuluh derajat ketika melaksanakan Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) bagi adik-adik angkatannya. Walau telah ada perubahan mendasar di kampus-kampus tertentu, akan tetapi, di sebagian besar kampus, Ospek masih diwarnai dengan unsur kekerasan, penindasan dan militerisme sebagaimana tercermin dalam tindakan membentak-bentak, menggoblok-goblokkan, dan penciptaan suasana yang anti dialog. Atau pada pemberian sanksi yang cenderung bersifat fisik semata seperti push-up, lari jongkok, berdiri dengan satu kaki, lari keliling lapangan, dan lain-lain. Hukuman semacam itu dipilih tanpa ada kaitan sama sekali dengan pembentukan karakter dan idealisme mahasiswa.
Ospek yang demikian itu justru menimbulkan “situasi penindasan”. Mahasiswa lama (panitia Ospek) sebagai penindas dan mahasiswa baru (peserta Ospek) sebagai kaum tertindas.
Sebenarnya, setiap tahun, masyarakat telah menyampaikan banyak kritikan dan keberatan atas pelaksanaan ospek yang ditengarai banyak diwarnai kekerasan, penindasan dan nuansa militer seperti itu (hal-hal yang sesungguhnya sangat dibenci dan ingin dihapuskan oleh mahasiswa dari permukaan bumi Indonesia). Akan tetapi, nyatanya, walau selalu menuai kritik, pelaksanaan Ospek tidak banyak berubah. Tetap penuh dengan kekerasan, penindasan dan militerisme, sekalipun setiap tahun selalu ada korban yang berjatuhan, bahkan ada beberapa yang sampai mengalami kematian yang tidak perlu.
Yang menarik untuk dipertanyakan adalah, kenapa tiba-tiba para mahasiswa panitia Ospek, yang nota bene dari kalangan aktivis juga, menjadi “bebal” dan seperti tidak mempan kritik. Sama seperti umpatan mereka terhadap penguasa ketika para mahasiswa itu berdemonstrasi. Kenapa pula mereka seperti menikmati dan puas menjadi pelaku kekerasan, menjadi penindas dan bergaya militeristik.
Meminjam analisis Paulo Freire, seorang pemikir dan praktisi pendidikan pembebasan dari Brasil, para panitia Ospek bisa seperti itu karena dulunya pada waktu menjadi peserta Ospek mereka juga pernah mengalami “situasi penindasan”. Dalam bukunya Pedagogi of The Oppressed (diindonesiakan dengan judul Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, 1985) Freire mengingatkan bahwa dalam situasi penindasan, kaum tertindas melakukan identifikasi secara kontradiktif. Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai mahluk yang terbenam, terhina, terlepas dan tercerabut dari kemanusiaannya. Adapun di hadapan mereka adalah kaum penindas yang berkuasa dengan harkat kemanusian yang sempurna.
Kaum tertindas sulit untuk menemukan citra diri di luar kontradiksi penindas-tertindas. Karena itu, bagi mereka, upaya pembebasan diri untuk mendapatkan harkat dan martabat kemanusiannya, adalah dengan menjadi manusia yang memiliki citra diri seperti yang mereka temukan dalam sosok para penindas. Teori ini bisa menjelaskan mengapa seorang buruh yang diangkat menjadi mandor atas kawan-kawannya akan bertindak segalak dan sekasar majikannya, bahkan lebih. Atau dalam masa penjajahan Belanda dahulu, orang-orang pribumi yang diberi wewenang oleh penjajah Belanda, yang di kenal sebagai londo ireng, seringkali malah bertindak lebih kejam dibandingkan Belanda itu sendiri.
Teori ini pula yang bisa menjelaskan, mengapa setelah berada dalam penindasan dan kekerasan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun, seakan-akan kini lahir manusia manusia khas Orde Baru (homo orbaicus), yaitu manusia-manusia yang mengadopsi budaya kekerasan, budaya penindasan dan budaya memaksakan kehendak, dari penguasanya itu (Orde Baru).
Hal yang sama juga terjadi pada panitia Ospek. Yang paling dominan dalam kesadaran mahasiswa lama panitia Ospek tersebut adalah, Ospek merupakan arena terbaik untuk menampilkan citra dirinya sebagai penguasa. Citra diri itu mereka dapatkan, dahulu ketika mengikuti Ospek. Waktu itu, mereka sebagai pihak yang tertindas melakukan identifikasi bahwa alangkah enaknya, alangkah gagahnya, alangkah berkuasanya, alangkah bermartabatnya menjadi panitia Ospek.
Kini ketika menjadi panitia, mereka mendesain Ospek yang melahirkan “situasi penindasan”. Para peserta yang tertindas akan menginternalisasi citra diri pelaksana Ospek yang menindas itu. Untuk kemudian, pada suatu saat mereka akan mereproduksi citra diri itu ketika kesempatan memungkinkan. Yaitu ketika mereka menjadi pelaksana Ospek.
Selain itu, penindasan adalah penjajahan kesadaran lewat praktik “pemolaan”. Kaum tertindas dipaksa untuk memilih atau melakukan apa yang di”pola” oleh penindasnya. Kaum tertindas tentu akan berfikir seribu kali untuk melakukan perlawanan, karena hal itu akan memberatkannya sendiri. Lagi pula, belum tentu kawan-kawannya yang lain akan membantu. Kebanyakan kaum tertindas akan memilih diam dan patuh. Keadaan seperti ini membuat kaum tertindas akan larut dalam sikap masokhis. Begitu pun yang terjadi pada peserta Ospek. Mereka melakukan banyak tindakan dan hukuman seperti yang dipolakan oleh para panitia Ospek, tanpa banyak berani menentang walaupun tindakan-tindakan itu sama sekali tidak logis, tidak rasional dan tentunya tidak mereka inginkan.
Dari paparan di atas, apabila pelaksanaan Ospek masih diwarnai dengan nuansa penindasan, setidaknya memunculkan dua hal. Pertama, Ospek melahirkan “situasi penindasan”. “Situasi penindasan” akan melahirkan sosok-sosok penindas baru (sadistis) yang suatu saat apabila mendapatkan kesempatan akan mencoba untuk melahirkan situasi penindasan baru, begitu pula nanti seterusnya, sehingga Ospek itu sendiri merupakan forum konservasi dan reproduksi penindasan. Kedua, Ospek akan melahirkan generasi yang patuh, acuh tak acuh, tidak kritis dan tidak berani menentang terhadap praktik-praktik penindasan.
Lebih dari itu, Ospek juga bisa jadi akan melahirkan generasi masokhis. Generasi seperti itu merupakan lahan subur bagi tumbuhnya praktik-praktik penindasan. Dengan begitu, maka Ospek justru menjadi sebuah rutinitas yang berperan sebagai konservasi atau pelestari penindasan. Kalau diproyeksikan dalam kehidupan bangsa, Ospek yang seperti itu justru memberikan kontribusi negatif terhadap proses demokratisasi yang saat ini mulai bergulir, karena Ospek justru melahirkan generasi yang berpotensi menjadi penindas, sadistis dan a-demokratis jika sedang berkuasa, sekaligus generasi yang patuh, masokhis, tidak kritis dan acuh tak acuh terhadap berbagai praktik penindasan, ketika sedang di bawah kekuasaan pihak lain.
Visi Ospek yang ideal adalah yang bersuasana egaliter, dan selaras dengan proses demokratisasi. Dalam kerangka ini, Ospek dilaksanakan sebagai upaya melahirkan mahasiswa yang sadar akan posisi dirinya sebagai agen of change yang kritis, sadar akan persoalan sosialnya, berani menentang segala bentuk penindasan dan mempunyai komitmen atas keberlangsungan proses demokratisasi bangsa.
Visi yang seperti ini tentu saja tidak menghendaki praktik penindasan dan praktik a-demokratis dalam pelaksanaanya. Visi ini hanya bisa dicapai apabila Ospek, meminjam Freire, didesain sebagai praktik dari “pendidikan pembebasan”. Pendekatan yang dipakai adalah pendidikan orang dewasa (andragogy) dengan metode yang bisa mendorong peserta untuk aktif dan memiliki kesadaran kritis. Pola seperti ini mengharuskan adanya suasana yang egaliter, hubungan yang komunikatif, empatif dan tidak ada unsur dominasi di dalamnya. Baik peserta Ospek maupun fasilitator/ panitia Ospek terlibat dalam proses pencarian bersama. Yang terjadi bukan peserta belajar “dari” fasilitator, tetapi peserta belajar “bersama” fasilitator.
Ospek merupakan proses belajar bersama ( tranpersonal learning ) dengan berbagai tahapan meliputi penyadaran ( konsientasi ), pemberdayaan (empowering ), pembebasan (liberasi ) dan pemanusian ( humanisasi ).
Penyadaran merupakan proses yang mengajak peserta untuk memahami dirinya dan realitas serta problema kehidupan diri maupun sosialnya. Penyadaran akan membawa peserta dari kesadaran naif atau bahkan magis, menuju manusia dengan kesadaran kritis. Penyadaran kemudian diikuti dengan pemberdayaan, yaitu upaya menumbuhkan kemampuan analisis kritis untuk memahami dan memberikan solusi atas berbagai problem kehidupan.
Apbila kedua proses telah terlewati, selanjutnya adalah pembebasan. Dengan kesadaran dan keberdayaan yang di milikinya, peserta di ajak untuk memberikan penilaian yang mandiri, menentukan dirinya sendiri serta mempunyai sikap yang mandiri, bebas dari hegemoni masa lalu tradisi dan negara.
Selain membebaskan peserta Ospek, Ospek seperti itu sekaligus juga membebaskan mahasiswa lama (panitia ospek) dari belenggu hegemoni citra diri penindasnya dulu, sehingga mereka tidak lagi “terpenjara” oleh keinginan melakukan penindasan, kekerasan dan balas dendam.
Ospek yang dilakukan dengan visi dan metode semacam itu, pada satu sisi sesuai dengan nilai-nilai idealisme yang selama ini dengan bangga diakui sebagai kesejatian mahasiswa. Sementara di sisi lain diharapkan mampu melahirkan generasi yang demokratis, egaliter, otonom, dan mempunyai komitmen terhadap berbagai problem masyarakatnya. Rasanya generasi seperti itulah yang di butuhkan perannya dalam proses tranformasi bangsa mendatang.
Dari pandangan holistik terhadap apa dan bagaimana OSPEK tersebut, kita bisa menarik kesimpulan bahwa acara tersebut memiliki esensi yang sangat krusial. Tujuannya adalah untuk melatih mahasiswa agar berjiwa seperti layaknya seorang mahasiswa, yakni sebagai alat kontrol sosial dan oposisi pemerintah yang sebenarnya.
setuju banget deh. ada banyak cara mendidik mahasiswa baru untuk jadi lebih baik bukan hanya dengan cara penindasan cara keras. ya kan?
BalasHapus